Biksu

Waktu aku kecil, kira-kira kelas tiga SD, aku senang dengan film silat. Film yang masih kuingat sampai sekarang adalah Shaolin Temple. Baru aku tahu belakangan ini kalau bintangnya, salah satunya, Jet Lee. Mulai itulah, biksu bagiku itu jagoan, pintar silat, suka menolong, dan penyayang kehidupan.

Kenapa penyayang kehidupan? Karena ada satu adegan di film Shaolin Temple itu yang menonjolkan bagaimana si tokoh utama menyelamatkan seekor anak burung yang masih berkeciap di dalam sangkarnya. Adegan dan ekpresi menyayangi anak burung itu masih tergambar jelas di benakku yang sudah berusia sepertiga abad ini.

Setelah itu, perkenalan dengan biksu diteruskan lewat komik silat karya Hans Mintardja, cerita berserinya Kho Ping Hoo. Semuanya menegaskan kekagumanku pada seorang biksu. Tokoh yang arif dan sungguh tenang dalam menyikapi hidup. Bahkan kalau ada seorang biksu yang jadi jahat aku agak sedikit menyesal dan berharap-harap supaya dia bisa bertobat di akhir cerita. Dalam hati aku sering protes, bukankah seorang biksu tidak harus berperilaku seperti itu.

Akhirnya waktu aku SMA, bisa mengenal dan berjabatan tangan langsung dengan seorang biksu. Sri Pannavaro (maaf bila salah tulis). Sebagai ketua OSIS aku bertugas menjemput dan menemani sekaligus menyambut sang biksu yang akan berbagi cerita di sekolahanku. Sungguh pengalaman yang mengesan. Aku hormat betul dengan biksu itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, bahkan tidak lebih tinggi dari aku yang cuma 164 meter. Mata teduh dan bibir selalu tersenyum ramah. Pembawaan tenang, tak pernah melakukan sesuatu dengan mendadak. Jalan kaki pun terasa tenang. Suaranya mengalun, tanpa ada ledakan tawa atau pun sentakan-sentakan. Walau aku merasakan betul hatinya berkobar karena semangat dan kegembiraan.

Aku juga masih ingat dengan salah satu bagian ceritanya yang disampaikannya waktu itu. Cerita itu sering kukutip untuk menghiasi tulisanku. Namun, aku juga merasa cerita yang disampaikannya sedikit banyak mempengaruhi cara berpikirku juga. Akan kuceritakan, apa itu, di bagian tulisan lainnya.

Ketertarikanku dengan biksu membuatku mencari tahu tentang budhisme. Aku sering ngobrol dengan teman yang juga tertarik dengan budha. Baca buku tentang tibet dan dalai lama. Mencoba teknik meditasi budha. Ya biksu punya tempat spesial dalam perjalananku.

Kekagumanku bertambah suatu kesempatan aku berjalan-jalan di kota Bangkok, di pagi hari. Toko-toko masih tutup tetapi matahari sudah menerangi. Kira-kira pukul 06.30 pagi. Aku berpapasan dengan seorang biksu. Selang dua menit aku berpapasan dengan seorang perempuan remaja, mengenakan semacam seragam sekolah, bergegas bahkan sedikit berlari. Aku menengok ke belakang ternyata siswi itu mengejar biksu tadi. Setelah menjumpainya, anak itu berlutut, barangkali menyentuh kaki biksu dan memberikan makanan pada biksu itu. Biksu itu mengatupkan tangan di dadanya dan membuka kantong makanan yang ada di gendongannya. Sejauh aku tahu, biksu hanya makan dan hidup dari pemberian orang.

Hari ini, ada satu orang biksu tewas. Menurut sumber lain, ada 5 orang biksu yang tewas dalam pemogokan di Myanmar menentang junta militer. Pemerintahan resmi yang berusaha membubarkan demonstrasi yang diikut seratusan ribu orang menembaki kerumunan.

Bagiku melihat biksu berjalan beriringan, kehujanan dan berdoa sepanjang jalan adalah keagungan. Tetapi bagi pemerintah Myanmar itu merupakan sebuah ancaman. Aku sangat sedih ketika mendengar ada kabar kematian seorang biksu. Seorang yang telah begitu berani membaktikan hidupnya bagi Tuhan dibunuh oleh sesamanya.

Myanmar tampaknya sedang berada di masa kritis. Karena Biksu telah turun kejalan. Aku jadi teringat dengan People Power di Filipina yang berhasil menggulingkan Marcos ketika Kardinal Sin mulai bicara di radio-radio. Begitu pula revolusi Iran mencapai kesuksesan saat Ayatollah Khomeni memimpinnya. Begitu pula dengan Gandhi, dengan swadeshinya.

Ketika nurani bicara, peluru dan senjata akan takluk.
Untuk para Biksu, nirwana memang harus terwujud di mayapada ini.

Sumpah

Tak ada yang lebih menggetarkan kecuali sumpah yang diucapkan dengan rela hati. Meski masih berupa misteri, rasanya patut diakui bahwa semakin orang berani mengikatkan diri pada sumpahnya, semakin bebaslah dia. Semakin beranilah dia.

Kebebasan memang berlapis. Meski demikian, kebebasan selalu berada mengatasi keterikatan. Ketika seseorang mengikatkan diri pada sesuatu, sudah pasti pintu kebebasan yang lebih besar terbuka padanya. Lantas begitu bebas, dia punya kesempatan lagi untuk mengikatkan pada sesuatu yang lebih besar lagi.

Karena itu, ketika seseorang hanya berhenti pada rasa bebas yang sekarang ini saja, pada dasarnya dia tidak akan pernah beranjak. Karena hanya keberanian untuk bersumpah dan mengikatkan diri sajalah yang akan membawanya ke arah kebebasan yang lebih besar, lebih umum, dan lebih universal.

Tapi, memang tidak semua orang berani untuk mengikatkan diri. Siapa sudi kehilangan kenikmatan kebebasan yang sedang dienyam bukan. Sama seperti waktu aku kecil. Selalu bersungut-sungut ketika dipanggil oleh nenek untuk mandi. Padahal sedang seru-serunya main sepakbola.

Tampaknya pergulatan manusia selalu akan berada di antara kata ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Orang berjuang untuk ‘bebas dari’ supaya bisa ‘bebas untuk’. Kalau misalnya aku tidak dipanggil oleh nenekku, aku tidak akan berada dalam situasi atau kesempatan untuk memasuki suasana ‘bebas untuk’. Ya, bebas untuk memilih patuh atau menentang atau apa saja.

Selasa, 25 September 2007, aku hadir dalam acara pelantikan sumpah para calon dokter. Sebuah sumpah yang sudah diucapkan sejak jaman Yunani kuno, oleh Hipokrates.

“Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”

Harusnya sumpah ini dengan mudah membabat habis bujukan para produsen obat terhadap dokter-dokter supaya terus meresepkan obat produksinya.

Ivan Illich, seorang pemikir modern pernah mengkritik keras praktik masyarakat kita yang mengkultuskan seorang dokter. Seakan-akan dokter adalah dewa yang berhak atas hidup pasiennya. Ivan Illich geleng-geleng kepala karena tidak paham mengapa dengan suka rela pasien memberikan miliknya paling berharga yaitu kebebasan atas hidup dan badannya pada dokter.

Padahal dokter seperti yang kita kenal jelas-jelas terbatas. Tidak hanya dari sisi peran, tetapi dari sisi keilmuan pun masih sangat hijauh. Usianya tidak lebih dari 400 an tahun. Baru berkembang setelah beberapa tahun abad pertengahan berakhir.

Meski demikian, para dokter yang telah tersumpah itu wajib diacungi jempol. Sumpah tidak hanya sekedar kata-kata yang memenuhi udara sekitar. Sumpah yang terucapkan sebenarnya telah jadi mantra yang bisa diucapkan setiap saat. Didaraskan setiap waktu.

Karena manusia itu gudangnya alpa. Sumpah yang tidak lagi diucapkan, meski hanya dalam hati, bisa terkubur dan menjadi debu.

September

Waspa kumembeng jroning kalbu (air yang tersimpan di dalam tanah) adalah kalimat yang dipakai dalam horoskop Jawa untuk menamai mangsa kapat atau bulan keempat. Bulan september, seturut yang kutahu sampai dengan saat ini belum masuk musim hujan. Permukaan tanah masih kering tetapi air tanah katanya sudah mulai menggeliat. Seakan mengundang hujan yang sudah lebih dari setengah tahun di nantinya.

Bisa dibayangkan udara di atas tanah pasti terasa sedikit lembab. Air tanah yang pelan-pelan merayap naik ada beberapa yang telah menguap. Biasanya orang mulai gelisah karena gerah. Mengharap hujan segera turun untuk mendinginkan ruang.

September, sesaat menjadi bulan yang penuh kegelisahan. Tidak hanya bagiku tetapi bagi lebih dari sejuta orang yang dulu pernah mengalami Gestapu. Gunawan Mohammad dalam catatan pinggirnya di Majalah Tempo, edisi 24-30 September 2007 membuatku teringat dengan tragedi gestapu.

Ada satu kalimat yang aku suka karena begitu ringkas merangkum pesan, “Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, “Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.”

Betul sekali, kita gagap bila harus mengenangnya. Mengenang Gestapu yang tidak lagi sekadar akronim, tetapi sudah merupakan ringkasan cerita sedih, rangkuman darah, dan kemarahan.

Ya, September.

September punya arti khusus bagiku. Aku lahir di bulan September. Seingatku aku selalu senang bila sudah memasuki bulan September. Rasa senang yang mirip ketika aku masih SD dan sudah memasuki hari rabu. Waktu SD, begitu hari Rabu aku merasa hari berjalan begitu cepat. Artinya segera libur akhir pekan. Demikian pula September. Tengah tahun telah dilalui tinggal harapan menuju akhir tahun.

Ya, September. Seumpama engkau adalah gadis, tentunya rambutmu hitam, suka mengenakan gaun lembut yang panjang, bulu mata lentik dan sesekali mengejap sambil memandang ke arah matahari pagi. Engkau menanti harapan yang lahir dengan diam dan menyimpan segalanya di dalam hati.

Ya, September. Seandainya engkau gadis aku akan menghampirimu mengajakmu bicara untuk mendengarkan ceritamu.