Dua hari ini aku merasakan sepi. Meski hanya sesaat saja rasa itu hadir, tapi aku jadi teringat bahwa aku sedang sendiri. Sendiri bukan hal yang aku takutkan, apalagi emohi. Sepi bagiku adalah salah satu bagian yang biasa dijalani oleh siapapun. Bahkan kadang-kadang aku bisa meraskan kenyamanan ketika berada dalam kesepian. Dalam sepi banyak hal bisa aku lahirkan, mulai dari permenungan sampai dengan bayangan. Sepi memang terkadang telah menjadi kawan paling setia.
Tapi dua hari ini, aku merasakan sepi yang berbeda. Aku merasakan sendiri. Apa karena sudah lama tidak ada yang mencium pipiku sebagai tanda sayang. Barangkali minggu lalu, banyak kerjaan sehingga menekan perasaan.
Lebih-lebih dua hari ini, malam yang tidak hujan tetapi bertebaran angin dingin, kadang membuatku tersenyum sendiri. Apalagi ada beberapa lagu yang ketika sungguh kudengarkan syairnya terasa berdesir-desir dada ini. Seperti ketika menemukan ayunan di pohon setelah lama berjalan. Kemudian sejenak berayun-ayun. Nyaman.
Rasa sepi yang kualami tidak lagi kusesali. Terlebih ketika membaca artikel di Koran Tempo, Minggu, 9 Desember 2007,”Rumah Yang Bermandi Cahaya Mentari”. Tulisan ini menggambarkan bahwa Heinz Frick, seorang Belanda, yang memiliki rumah di Jalan Srinindito Selatan VII/16 Ngempla, Simongan, Semarang. Liputan tentang rumahnya yang asri tersebut tidak terlalu mengherankan saya. Dari gambarnya saja terlihat asri. Tetapi yang paling mengesan adalah ketika dia mengatakan bahwa tidak punya tv. Dia terlalu sibuk sehingga tidak sempat melihat acara televisi. Katanya ada dia sudah membaca 6000 sampai 7000 an buku. Terbayang bukan betapa sibuknya dia. Dan rasanya aku yakin Frick jarang merasa sepi. Toh meski sudah mengajukan permohonan penyambungan telepon sejak 1999 dan belum tersambung sampai sekarang dia tetap enjoy saja (dugaanku sih).
Sebenarnya sepi itu tidak ada. Batin seseorang selalu bergemuruh. Tak pernah tak ada suara. Selalu ada suara. Selalu ada bunyi. Sepi itu memang ilusi. Ilusi bagi lelaki yang sudah lama tidur sendiri.